kilasbandung.com, KOTA YOGYAKARTA – Di tengah keramaian Pasar Beringharjo, Kota Yogyakarta, tampak seorang nenek menggendong barang belanjaan yang begitu banyak, hendak menyeberang. Ia adalah Harjo (70), atau kerap disapa Mbah Harjo, dengan kondisinya yang sudah renta, Mbah Harjo masih menjadi buruh gendong asal Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Butiran peluh membasahi dahi keriput Mbah Harjo. Ia mengaku, sudah bekerja sedari pagi di pasar yang menjadi landmark kawasan wisata Malioboro itu. “Simbah sudah bekerja sejak 1965, bukan dilit (sebentar),” ungkap Mbah Harjo kepada ACTNews, Ahad (5/9/2021).
Sebagai buruh gendong, Mbah Harjo merupakan yang tertua. Kegigihan Mbah Harjo pun tidak tanggung-tanggung, sedari pagi sudah berangkat menggunakan becak dari rumahnya di Jalan Imogiri, Desa Trimulyo, Pedukuhan Bulu, Kapanewon Jetis.
“Langganan saya itu jauh-jauh dari Sumatera, Jakarta, Bandung, Bali, Suroboyo. Nek gendong keh dikasih seratus (Rp 10 ribu), dua ratus (Rp20 ribu), tiga ratus (Rp30 ribu), ada yang lima puluh (Rp50 ribu). Yo belum tentu toh kalau bawa-bawa gitu. Kalau belanjaan banyak ya banyak, kalau enggak ada yo enggak ada,” ungkap Mbah Harjo.
Tak bisa hanya mengandalkan hidup dari menjadi buruh gendong saja, Mbah Harjo menyambi mengumpulkan berbagai jenis barang rongsokan yang bisa laku terjual.
Ia menceritakan barang-barang rongsokan yang didapat sedikitnya bisa membantu kehidupan dirinya yang sudah menjadi seorang janda. “Ambil koran, botol, aki, alumunium, tembaga, kuningan. Nanti di rumah ada yang ambil, (harganya) Rp4 ribu satu kilo (gram). Kalau belum banyak yo belum disetorkan,” jelas Mbah Harjo.
Tanpa mengeluh dan selalu bersyukur merupakan kunci Mbah Harjo di usia senjanya. Bahkan, ia selalu menegaskan kalau tubuhnya masih kuat untuk menggendong banyak belanjaan yang tak terkira beratnya. Bagi Mbah Harjo, perjuangan mencari nafkah tak mengenal usia selama hayatnya masih diberikan hembusan napas.[]