kilasbandung.com, JAKARTA – Namanya adalah Usmar Ismail, seorang pelopor film di Indonesia yang akan mendapat gelar pahlawan nasional di Hari Pahlawan (10 November) dari Presiden Joko Widodo.
Sebelumnya, di Hari Sumpah Pemuda, Kamis (28/10), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan akan memberikan gelar pahlawan nasional kepada Bapak Film Indonesia tersebut.
Pada pengumuman tersebut, Mahfud mengatakan akan menyerahkan gelar tersebut kepada keluarga almarhum.
Bersama dengan Usmar Ismail, terdapat tiga tokoh bersejarah lain yang mendapat gelar pahlawan di 10 November mendatang, yaitu Tombolatutu dari Sulawesi Tengah, Sultan Aji Muhammad Idris dari Kalimantan Timur, dan Raden Ayra Wangsakara dari Banten.
Mengenal Sosok Usmar Ismail


Selain menjadi seorang pelopor film, sosoknya juga adalah seorang pelopor drama modern di Indonesia. Bapak Film Indonesia ini lahir pada 20 Maret 1921 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Ia memulai kiprahnya di dunia film ketika menjadi asisten sutradara film “Gadis Desa (1949)”. Saat itu, Andjar Asmara mengajaknya masuk ke South Pacific Corporation, sebuah perusahaan film kepunyaan Belanda.
Andjar mengajak Usmar bergabung pada perusahaan tersebut selepas Usmar bebas dari penjara akibat tuduhan subversi dari Belanda ketika ia menjadi wartawan di Kantor Berita Antara.
Di tahun yang sama, Bapak Film Indonesia itu menjadi sutradara dari film “Harta Karun” dan film “Tjitra”. Film yang naskahnya telah ia tulis dari zaman penjajahan Jepang.


Merasa tidak puas dengan hasil film yang telah ia garap, Usmar-pun membangun perusahaan sendiri, yaitu Perfini pada 30 Maret 1950.
Di hari berdirinya Perfini, ia melangsungkan syuting film “Darah dan Doa” alias “Long March Siliwangi” di Purwakarta dan juga Subang.
Film Darah dan Doa diklaim menjadi film pertama tentang manusia Indonesia dalam revolusi. Darah dan Doa menceritakan tentang Kapten Sudarto yang sedang melakukan perjalanan Divisi Siliwangi dari Yogyakarta ke daerah Jawa Barat.
Sempat menerima kritik dari perwira Angkatan Darat akibat Darah dan Doa dianggap memberikan kesan keliru terkait perwira, akan tetapi Usmar mengklaim filmnya tidak menyorot dari sisi kepahlawanan melainkan mengambil sisi manusiawi dari seorang tentara yang masuk dalam arus revolusi.
Belajar Sinematografi di Los Angeles


Dalam buku berjudul “Film Saya yang Pertama” karya Usmar, ia mengaku tertarik dengan cerita Sudarto.
“Saya tertarik kepada kisah Sudarto karena menceritakan secara jujur kisah manusia Indonesia dengan tidak jatuh menjadi film propaganda yang murah,” tulisnya.
Usai menggarap “Darah dan Doa”, Usmar langsung melaksanakan produksi film keduanya dengan judul “Enam Djam di Djogja” (1951).
Satu tahun setelah film “Enam Djam di Djogja, Usmar mendapat beasiswa untuk mempelajari sinematografi di University of California Los Angeles dari Yayasan Rockefeller.


Mengutip dari Antara News, Rohan Anwar mengatakan kemampuan Usmar menggarap film setelah mendapat kesempatan belajar di Los Angeles menjadi lebih mahir.
Selanjutnya, ia terus berkarya di dunia perfilman, ia memproduksi “Lewat Tengah Malam” pada 1954, lalu “Pedjuang” pada 1959.
Ia terus memproduksi berbagai film hingga 1970. Karya terakhirnya di tahun itu adalah “Ananda”. Kemudian Usmar Ismail menutup usia pada 2 Januari 1971.